The Power of Now

sujud

Sekompi ilmuwan bisa bergabung dan membuat semua bukti ilmiah untuk meyakinkan anda bahwa pisang itu pahit. Namun apa yang harus anda lakukan cukup mencicipinya sedikit, untuk menyadari seluruh aspek lain dari pisang. Pada puncaknya, bukti tidak terletak pada argumen ilmiah, namun dengan merasakannya.

Terkadang perlu untuk keluar (dari habitat) untuk melihat ke dalam kalau kita mau mengetahui kondisi sebenarnya yang terjadi di dalam. Dalam tasawuf, hal ini biasa disebut dengan khalwat atau uzlah. Ibarat seorang pemain bola, dia tidak akan mengetahui apa yang kurang dalam permainan karena dia sendiri larut di dalamnya. Yang paling tahu justru orang yang berada di luar lapangan, yaitu pelatihnya. Demikian, kadang kita tidak tahu bagaimana kondisi masyarakat kita yang sebenarnya kalau kita juga berada dan larut di dalamnya. Karena itulah kita perlu sesekali mengambil jarak darinya untuk melihatnya dari luar. Setelah itu, barulah kita masuk kembali dengan semangat dan pengetahuan baru untuk memperbaiki dari dalam.

Bentuk lain dari cara mengambil jarak adalah melintasi batas, mencoba menengok ke ajaran spiritual lain untuk kemudian membandingkan dengan ajaran spiritual yang kita anut. Judul di atas penulis ambil dari sebuah buku panduan pancerahan spiritual yang ditulis oleh Eckhart Tolle, seorang guru spiritual. Eckhart Tolle menulis bukunya tersebut berdasar pada pengalaman pribadinya. Hasilnya, kita mendapatkan ada kekuatan di balik kata-katanya. Kekuatan yang bisa menembus ke relung hati pembacanya. Dalam tasawuf, kita mendapati ungkapan, “Hanya kata yang keluar dari hati yang akan masuk ke hati pula.”

Dari judul dan pengarang buku ini, kita segera dapat menangkap makna bahwa kondisi kini (Now) memiliki kekuatan yang mencerahkan. Ada beberapa hal yang ingin penulis sarikan dari buku Eckhart Tolle ini yang sangat menarik ini.

Pertama, semua keinginan merupakan pikiran yang mencari penyelamatan atau pemenuhan di dalam hal-hal eksternal dan di masa depan sebagai suatu pengganti bagi kebahagiaan Wujud Sejati. Sepanjang aku adalah pikiranku, aku adalah keinginan-keinginan itu, semua kebutuhan, keinginan, keterikatan dan kebencian-kebencian itu, dan terlepas dari mereka tidak ada “aku” kecuali sekedar kemungkinan, suatu potensi yang belum terpenuhi, sebuah benih yang belum menyemai.

Kedua, Intensitas penderitaan tergantung kepada derajat resistensi terhadap momen kini, dan pada gilirannya ini tergantung pada seberapa kuat anda mengidentifikasi dengan pikiran anda. Pikiran selalu menyangkal Momen Kini (Sekarang) dan berusaha untuk melepaskan diri darinya. Dengan kata lain, semakin anda mengidentifikasi dengan pikiran anda, anda akan semakin menderita. Atau mungkin anda bisa mengatakannya seperti ini: semakin anda mampu menghargai dan menerima Momen Kini, anda pun semakin terbebas dari penderitaan, dari kesengsaraan, dan bebas dari pikiran egois.

Ketiga, Pikiran tidak berfungsi dan tidak bisa tetap berkuasa jika tidak memiliki waktu, yang adalah masa lau dan masa kini, oleh karena itu ia menganggap yang Momen Kini (tak berwaktu) sebagai ancaman. Dalam kenyataannya pikiran dan waktu merupakan dua hal yang tak terpisahkan.

Keempat, Apa, yang saat ini kurang? “Jika tidak sekarang, kapan lagi?” Demikian pertanyaan yang sering dilontarkan oleh para guru spiritual kepada murid-muridnya untuk mengingatkan mereka untuk tetap fokus pada momen kini (Now). Momen kini adalah semua yang anda miliki. Tidak pernah ada waktu dimana anda tidak “saat ini”.

Now, hal yang paling berharga dari semuanya. Kenapa? Pertama, karena itu adalah satu-satunya yang ada. Kini eternal adalah ruang tempat keseluruhan hidup anda membuka, satu-satunya faktor yang tetap konstan. Kehidupan adalah Now. Tak ada suatu waktu dimana anda hidup tidak sekarang (Now), tidak pula akan ada. Kedua,Now adalah satu-satunya titik yang bisa membawa anda ke seberang kungkungan pikiran. Ia adalah satu-satunya akses anda ke dalam wilayah nir-waktu dan nir-bentuk dari Wujud Sejati.

Gede Prama menulis, karena tahu bahaya dikacaukan pikiran, penekun kejernihan memilih terserap dalam-dalam (menyatu) dengan kekinian, kemudian mendengarkan kehidupan sebagai nyanyian (”Olala”). Nyanyian kehidupan serupa langit, ada saatnya terang benderang cerah bercahaya (baca: bersih jernih). Ada kala kelam ditutupi awan gelap (kesedihan). Di waktu lain, langit dibungkus awan putih (kebahagiaan). Namun, awan gelap tak membuat langit jadi hitam. Awan putih tak membuat langit jadi putih. Apa pun yang terjadi, langit tetap biru. Dalam meditasi, ini disebut pencerahan.

Ciri pertama, batin sudah bangun dari tidur panjang (the awakened mind). Terlalu lama batin tidur lelap bersama gonjang-ganjing pikiran. Seolah-olah gonjang-ganjing pikiran itulah kehidupan. Ciri kedua, muncul rasa lapar untuk berbakti kepada yang di atas (devotion), serta berbagi welas asih kepada semua makhluk (infinite compassion). Bagi yang telah sampai di sini mengerti, kebahagiaantak melakukan penambahan, kesedihan tak melakukan pengurangan. Demi kasih sayang kepada semua makhluk, nyanyian suci kehidupan tetap harus didendangkan.

Penulis, dalam rangka kembali ke dalam, berusaha mencari rujukan Qur’an dan Hadis tentang apa yang penulis kemukakan di atas. Namun, penulis tidak menemukan satu teks pun dari Qur’an ataupun Hadis yang secara langsung/tersurat mengenai ajaranThe Power of Now ini. Akan tetapi ini tidak kemudian berarti bahwa Qur’an maupun Hadis tidak mengajarkan hal ini.

Sebetulnya, cara masuk dengan berusaha mencari-cari pembenaran seperti ini sangat tidak penulis sukai. Karena hal seperti ini cenderung membuat kita terjebak pada pernyataan teks semata. Setelah itu, kita kemudian menolak sesuatu yang tidak ada teks tersuratnya. Padahal ada yang lebih dalam daripada hanya sekedar merujuk dan berhenti pada teks itu, yaitu pengalaman keagamaan yang didapat dari perenungan, penghayatan, dan pengamalan ajaran agama itu sendiri. Kita yang peka dan menyadari setiap aktivitas keagamaan yang kita lakukan akan segera tahu bahwa sesungguhnya itulah inti yang dikandung setiap aktivitas ibadah yang kita lakukan. Yaitu kesadaran sepenuhnya ketika melakukan aktivitas itu. Shalat misalnya, kita dituntut untuk khusyu’ dengan menyadari setiap ucapan, gerakan, pikiran, perasaan, dan niat ketika dan dalam melaksanakannya.

Selain itu, aktivitas-aktivitas keagamaan lainnya yang diajarkan Islam, misalnya zakat, puasa, dan haji, juga konsep-konsep Qur’an dan Hadis tentang taubat, zuhud, sabar, syukur, ridha, cinta, yang merupakan ajaran para sufi, nampak bahwa hal-hal tersebut semuanya mengacu pada apa yang disebutkan di atas. Maqam-maqam spiritual tersebut tidak akan termanifestasikan selain pada kondisi kini/sekarang (Now).

Dengan demikian, Qur’an dan Hadis tidak menyebutkan secara tersurat, tapi langsung mengajarkan aksi atau sikap batin yang mesti diambil dalam aktivitas kekinian kita.

Zikir yang diperintahkan dalam al-Qur’an untuk dilakukan sebanyak-banyaknya, tujuan utamanya agar kita selalu sadar dan tersadarkan pada kondisi kini di manapun kita berada serta tidak terganggu oleh pikiran-pikiran masa lalu dan masa depan yang menjadi hijab kita dengan Allah swt. Rumi dalam salah satu syairnya memerikan hal ini dengan sangat menawan.

Seorang telanjang dan melompat

ke dalam air untuk lari dari serbuan lebah,

Mereka mengitarinya, manakala ia menyembulkan kepala,

Maka ia diserbunya.

Air adalah (perumpamaan) zikir kepada Tuhan,

Dan lebah adalah ingatan kepada wanita ini dan lelaki itu,

Isilah dadamu dengan air zikir dan bersabarlah,

Sehingga kau terbebas dari pikiran masa lalu dan segala was-was,

Setelah itu kau sepenuhnya akan tenggelam ke dalam air,

Dari kaki hingga kepala. (Rumi, Matsnawi IV, 435-439).

Kesadaran itulah kata kuncinya. “Orang yang sadar tiada henti adalah orang yang sepenuhnya berada pada setiap momen.” Demikian kata Anthony de Mello, seorang guru spiritual.

Akhirnya, sebagaimana kutipan di awal tulisan ini, ajaran-ajaran spiritual menuntut kita untuk bisa menghayati, meresapi, dan merasakan, bukan hanya sekedar mengetahui. Karena, lagi-lagi mengutip Rumi:

“Setiap ilmu yang dipelajari di dunia ini melalui belajar dan percobaan adalah ilmu tentang tubuh. Ilmu yang diperoleh dengan melintasi perbatasan kematian adalah ilmu tentang jiwa. Mengetahui ilmu tentang “Akulah Allah” adalah ilmu tentang tubuh, tetapi menjadi “Akulah Allah” adalah ilmu tentang jiwa. Melihat cahaya lampu dan api adalah ilmu tentang tubuh, terbakar dalam api dan nyala lampu itu adalah ilmu tentang jiwa. Segala yang dialami adalah ilmu tentang jiwa, segala yang berdasarkan pengetahuan adalah ilmu tubuh.

Apa yang diungkapkan Rumi terakhir adalah pengejawantahan dari The Power of Nowini dengan cara ‘menjadi’. Kaum sufi (spiritualis) Islam sangat menyadari hal ini. Karena itulah, Rumi menyebut Kaum sufi adalah anak anak dari waktu kini. Wallahu a’lam bi al-shawab.

http://agama.kompasiana.com/2010/12/14/the-power-of-now/#

p style=”color: #000000; font-family: Arial, Helvetica, sans-serif; font-size: medium; font-style: normal; font-variant: normal; font-weight: normal; letter-spacing: normal; line-height: normal; orphans: 2; text-indent: 0px; text-transform: none; white-space: normal; widows: 2; word-spacing: 0px; -webkit-text-size-adjust: auto; -webkit-text-stroke-width: 0px; background-color: #ffffff;” align=”center”

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *


*